JUDUL : 99 Cahaya Di Langit Eropa

No. : 10
Kelas : 7A
Pertemuanku dengan perempuan muslim di Austria, Fatma Pasha telah mengajarkanku untuk menjadi bulir-bulir yang bekerja sebaliknya. Menunjukkan pada Eropa bulir cinta dan luasnya kedamaian Islam. Sebagai Turki di Austria, Ia mencoba menebus kesalahan kakek moyangnya yang gagal meluluhkan Eropa dengan menghunus pedang dan meriam. Kini ini ia mencoba lagi dengan cara yang lebih elegan, yaitu dengan lebarnya senyum dan dalamnya samudra kerendahan hati.
Museum Louvre, Pantheon, Gereja Notre Dame hingga Les Invalides semakin membuatku yakin dengan agamaku. Islam dulu pernah menjadi sumber cahaya terang benderang ketika Eropa diliputi abad kegelapan. Islam pernah bersinar sebagai peradaban paling maju di dunia, ketika dakwah bisa bersatu dengan pengetahuan dan kedamaian, bukan dengan teror atau kekerasan
Perjalananku menjelajah Eropa adalah sebuah pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah dipancarkan oleh Islam di benua ini. Cordoba, Granada, Toledo, Sicilia dan Istanbul masuk dalam manifest perjalanan spiritualku selanjutnya.
Saat memandang matahari tenggelam di Katedral Mezquita Cordoba, Istana Al Hambra Granada, atau Hagia Sophia Istanbul, aku bersimpuh. Matahari tenggelam yang aku lihat adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat oleh orang-orang di benua ini 1000 tahun lalu. Matahari itu menjadi saksi bisu bahwa Islam pernah menjamah Eropa, menyuburkannya dengan menyebar benih-benih ilmu pengetahuan, dan menyianginya dengan kasih sayang dan toleransi antar umat beragama.
Sebongkah Cerita I :
Novel “99 Cahaya di Langit Eropa” adalah karya Hanum Salsabiela Rais (putri Amien Rais) dan suaminya, Rangga Almahendra. Berisi tentang perjalanan Hanum saat sedang menemani sang suami studi doktoral di Eropa. Kisahnya dimulai saat Hanum, yang mengambil kursus bahasa Jerman, bertemu dengan Fatma, seorang warga Turki yang sudah lebih dulu menginjakkan kakinya di Eropa. Persahabatan yang erat membuat mereka lebih sering berbagi ilmu, apalagi Fatma adalah seorang muslimah yang membuat Hanum kagum, karena ia membawa misi agar Islam tetap baik di mata orang Eropa, dengan cara-cara yang elegan. Bagaimanapun, image muslim di Eropa tidak jauh dari apa yang diberitakan di media-media selama ini.
Pada suatu hari, Hanum dibawa serta Fatma mengunjungi museum-museum di Wina, Austria. Alangkah terkejutnya Hanum karena begitu banyak persinggungan antara peradaban Islam dan Romawi. Hingga pada akhirnya, Fatma dan Hanum berniat untuk bisa menjelajah sudut-sudut Eropa lainnya, di mana terdapat jejak-jejak peninggalan peradaban Islam. Sayang, karena suatu hal, Fatma akhirnya kembali ke Turki. Hanum tidak tahu alasannya apa. Alhasil, Hanum mengajak serta suaminya untuk berkeliling Prancis, Spanyol, dan Turki. Perjalanan Hanum dan Rangga ke Paris, Granada, Al-Hambra, Mezqueta, Istanbul, dan tempat-tempat lainnya membuat mata mereka terbuka, apalagi sejak Hanum bertemu seorang mahasiswi Prancis yang memilih memeluk Islam setelah belajar sejarah mengenai peradaban Islam.
Saya dulu sering membuka-buka buku tentang filsuf Islam, menulis sedikit jurnal, dan berdiskusi dengan kawan-kawan di kampus tentang Paradaban Islam yang sungguh menjunjung ilmu pengetahuan, serta menjadi jembatan bagi terciptanya Renaisance di Eropa sana. Tapi membaca novel ini, saya menemukan banyak cerita lain yang tidak terungkap, misalnya, bagaimana bisa Ibnu Rusyd, atau dikenal dengan nama Averroes di Eropa, menjadi bapak lahirnya Renaisance, dan dikenal dengan ‘theory of double truth’, yang mengatakan bahwa agama dan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan.
Bagaimana bisa dalam lukisan Bunda Maria terdapat kalimat tauhid? Mengapa Mezquita, mesjid sekaligus pusat ilmu pengetahuan di Spanyol, bisa berubah fungsi menjadi gereja? Apakah Napoleon seorang muslim? Bagaimana Perang Salib menorehkan luka sejarah? Bagaimana pandangan orang Eropa terhadap muslim saat ini, dan apa yang seharusnya seorang muslim lakukan di sana? Masih banyak lagi detail-detail lain yang sayang untuk dilewatkan.Di akhir perjalanannya, Hanum sadar bahwa setelah ia berkeliling menemukan fakta-fakta yang tidak banyak orang tahu, ia harus melangkah menemukan sesuatu yang lebih dari itu. Pada halaman 372, Hanum mengutip kata-kata Paulo Coelho:

Sayangnya Fatma tiba-tiba menghilang setelah mereka mengikat janji akan berkelana bersama menapaki jejak Islam yang ada di Spanyol, Perancis, dan Turki yang pernah berjaya pada masanya. Demi memenuhi janji itu Hanum kemudian mulai menjelajah sendiri bersama suami.Paris the Light of City, kota yang paling terang cahayanya di Eropa. Kota yang menjadi pusat peradaban paling maju di Eropa. Kota yang pertama kali Hanum kunjungi untuk mengendus keberadaan Islam pada jaman dulu.Hanum sungguh tercengang ketika mengunjungi Museum Louvre, museum dengan koleksi paling lengkap di dunia, museum yang menyimpan lukisan Monalisa yang terkenal itu. Bagi Hanum, Monalisa dengan senyum misterius kalah menarik dengan lukisan Bunda Maria yang ujung kain kerudungnya terdapat tulisan kalimat tauhid atau piring-piring hias bertulis Arab Kufic.
Marion Latimer seorang pemandu yang baik, seorang Perancis yang memeluk Islam. Seorang peneliti di Arab Institut Paris berhasil menjawab rasa penasaran Hanum akan berbagai hal dalam museum yang mengandung nafas Islam, termasuk makna tulisan pada hijab Maria dan arti kata pada piring-piring bertuliskan Arab Kufic.Bukan hanya itu, Marion juga menunjuki sebuah kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwa bangunan pada masa Napoleon Bonaparte berkuasa mulai dari La Defense, Arc du Triomphe de I’etoile, Champ Elyses, Obelisk, Arc du Triomphe du Carrousel, Louvre jika ditarik garis lurus imajiner akan menembus langsung ke arah Ka’bah.
Timbul sebuah praduga, mungkinkah Napoleon Bonaparte seorang muslim?Cordoba di Spanyol merupakan kunjungan kedua Hanum untuk melihat Mezquita.
Belum lengkap rasanya jika ke Spanyol tanpa mengunjungi Granada, Istana Al-Hambra. Tempat terakhir Islam bertahan di Eropa. Sayang, the royal couple, Isabella-Ferdinand yang memiliki kekuasaan besar berhasil membuat Granada jatuh ke tangannya untuk kemudian melakukan pembaptisan masal orang-orang muslim yang menjadi mayoritas masyarakat Granada. Sebuah email mengejutkan datang dari Fatma membuat Hanum ingin segera mengunjungi imperium Islam terakhir pada masa Dinasti Usmaniyah atau Ottoman di Turki sekaligus menengok kawan lama Fatma Pasha. Ini menjadi perjalanan terakhir Hanum dalam mengarungi samudera peradaban Islam di Eropa.
Pada akhirnya, kata-kata Paulo Coelho dalam buku The Alchemist, ‘Pergilah untuk kembali, mengembaralah untuk menemukan jalan pulang. Sejauh apa pun kakimu melangkah, engkau pasti akan kembali ke titik awal.’ Membawa Hanum menjejak ke titik awal dari sebuah perjalanan panjang Islam di sebuah kota Mekah di satu titik pusat Ka’bah. Di mana kalimat tauhid masih bergema dari jutaan manusia pencari cahaya.
Kelebihan :
-Membaca buku 99 Cahaya di Eropa, serasa ikut mengembara langsung ke Eropa dan sekaligus belajar sejarah Islam di Eropa yang begitu membanggakan dan mengharukan.
-Mengajak kita untuk mengamalkan Islam secara total melalui perilaku yang mencerminkan Islam, lewat contoh tokoh yang bernama Fatma.
Kelemahan :
-Pemotongan sub bab dalam buku terkesan dipaksakan. Ketika telah sampai pada akhir sub bab, tiba-tiba kita masuk kembali pada rangkaian cerita sebelumnya yang terputus.
-Bagian awal epilog yang kurang memberikan kesan.
Saran :
-Pemotongan sub bab agar diperhatikan sehingga tidak membuat pembaca terjebak pada akhir kalimat menggantung, namun kemudian kalimat berlanjut pada sub bab berikutnya.
-Pada bagian Epilog, akan terasa lebih berkesan jika epilog langsung masuk ke sub bab Ka’bah, the cube tanpa embel-embel cerita lain, meski bagian tersebut merupakan penjelas mengapa penulis ingin berhaji.
Kehancuran Islam di Eropa adalah karena setitik nila perang saling menguasai yang menyebabkan trauma berkepanjangan. Jika proses masuknya Islam terus konsisten melalui cara damai seperti di Indonesia tentulah, Eropa hingga kini masih bercahaya sebagaimana Cordoba berhasil menerangi abad gelap di Eropa.
Kini minoritas Islam di Eropa harus berjuang untuk mengembalikan citra Islam yang keras menjadi lembut, seperti Fatma yang tetap santun meski mendengar hujatan dari orang-orang Eropa non muslim. Itulah sejatinya Islam, agama yang cinta damai.
Sayang, selalu dan masih saja ada yang memaknai Islam harus ditegakkan dengan jalan yang keras, menebar teror melalui hembusan jihad, atau demo yang berujung anarkhis seperti di Indonesia. Sudah saatnya umat Islam belajar dari kegagalan Islam berjaya di Eropa. Nafsu untuk menjadi lebih, nafsu untuk menguasai, dan nafsu merasa paling benar atas nama agama hanya akan memperburuk citra Islam di mata dunia.
0 comments:
Post a Comment